Update Artikel

Kamis, 26 Agustus 2021

Koneksi Antar Materi Modul 2.3. COACHING

 

1.     Kesimpulan Materi Pembelajaran Coaching

a. Definisi Coaching 

Kata “Coaching” memberi penekanan pada suatu pergerakan. Beberapa pengertian coaching antara lain sebagai berikut:

  • Coaching adalah membekali orang dengan peralatan, pengetahuan, dan kesempatan yang mereka perlukan untuk mengembangkan dirinya dan untuk menjadi lebih efektif (Peterson dan Hicks).
  • Coaching adalah membantu seseorang dengan cara yang dikehendakinya dan menuju arah yang hendak dicapainya. Coaching mendukung seseorang pada setiap level untuk menjadi apa yang mereka inginkan dan menjadi yang terbaik yang mereka mampu (Whithworth, dkk).
  • “Coaching is unlocking a person’s potential to maximize their own performance, it is helping them to learn rather than teaching them”(Gallwey)
  • “Coaching adalah membebaskan potensi seseorang untuk memaksimalkan performanya, membantu mereka untuk belajar alih-alih mengajari mereka”
  • Coaching adalah sebuah sarana (means) untuk mencapai tujuan, membantu (help) orang-orang menjalankan kehidupan yang utuh dan memuaskan.
  • Coaching dipahami sebagai sebuah kendaraan yang penuh tenaga (powerful vehicle) untuk menaikkan kinerja, mencapai hasil-hasil (results) dan mengoptimalkan (optimize) efektivitas pribadi seseorang
  • Coaching terfokus demi kemajuan akan penemuan (discovery).
  • Coaching didefinisikan sebagai kemitraan (partnership) dengan klien-klien, dalam sebuah proses pembangkitan pemikiran dan kreativitas berpikir, yang mengilhami untuk memaksimalkan (maximize) potensi pribadi dan profesionalisme mereka.
  • Coaching adalah upaya membantu (help) seseorang berubah sejalan dengan yang dia rindukan, menolong (help) dia berjalan ke arah yang diingininya.

        Dapat ditarik kesimpulan bahwa coaching secara umum adalah suatu proses kolaborasi yang berfokus kepada solusi.

    Memang ada beberapa pendapat berbeda mengenai asal usul coaching. Ada pendapat bahwa coaching secara alamiah merupakan bagian dari kehidupan seperti yang dilakukan oleh orang tua ataupun guru. Tidak dapat disangkal lagi bahwa orang tua dari dahulu kala berjuang dan berkorban untuk membesarkan anaknya agar bisa tumbuh menjadi manusia yang matang dan mandiri; guru mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan pemikiran anak didik mereka agar dapat maju dalam hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa coaching sudah ada sejak dahulu kala. Namun bagi mereka yang mengetahui atau akrab dengan berbagai tools, pendekatan maupun metodologi canggih dalam pengembangan SDM, coaching merupakan suatu ilmu dan profesi baru.

b. Perbedaan Coaching, Mentoring dan Konseling

c. Manfaat Coaching

  Coaching bermanfaat untuk membantu seseorang mencapai tujuan dalam kehidupannya. Coaching kini memegang prinsip bahwa coachee secara alamiah kreatif, penuh sumber daya, dan merupakakn manusia yang utuh. Karena itu ialah yang paling tahu jawabannya terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam hal ini coachee dilihat sebagai guru maupun murid. Dengan pendekatan ini coach tidak dilihat sebagai expert (serba tahu dan mempunyai jawaban terhadap semua masalah) dalam kehidupan coachee. Tugasnya adalah mengajukan pertanyaan yang tepat di saat yang tepat agar coachee bisa memulai suatu perjalanan menuju self discovery dan awareness (pemahaman dan kesadaran mengenai keadaan diri sendiri) dari perspektif baru yang berbeda. Jika diibaratkan seorang coach yang diperankan guru ini seperti nahkoda kapal pesiar yang dapat membawa kemana-mana dengan memberikan suatu kenyamanan.

     Pemahaman dan kesadaran diri ini menghantarkan coachee pada kepercayaan diri dan pemberdayaan dari perspektif yang baru, sehingga timbul keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan baru, sehingga bisa mencapai hasil yang sebelumnya tidak pernah diraih. Jadi, Coaching adalah perubahan dan transformasi - mengenai kemampuan seseorang untuk tumbuh, merubah perilaku yang menghalangi kemajuan, untuk melahirkan perilaku serta tindakan baru. 

Coach               : pemberi manfaat dan pelaksana kegiatan coaching
Coachee           : penerima kegiatan dan manfaat kegiatan coaching

  d. Coaching Dalam Konteks Pendidikan

        Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu peran seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya.

        Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Program ini dapat membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi guru untuk membantu murid mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan dalam belajar. Masih terkait dengan kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam sehingga murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya.

        Murid kita di sekolah tentunya memiliki potensi yang berbeda-beda dan dapat dikembangkan. Pengembangan potensi inilah yang menjadi tugas seorang guru. Apakah pengembangan diri anak ini cepat, perlahan-lahan atau bahkan berhenti adalah tanggung jawab seorang guru. Pengembangan diri anak dapat dimaksimalkan dengan proses coaching.

        Coaching, sebagaimana telah dijelaskan pengertiannya dari awal memiliki peran yang sangat penting karena dapat digunakan untuk menggali potensi murid sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi yang disepakati bersama. Jika proses coaching berhasil dengan baik, masalah-masalah pembelajaran atau masalah eksternal yang mengganggu proses pembelajaran dan dapat menurunkan potensi murid akan dapat diatasi.

            Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai sarana untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching. Keterampilan coaching ini sangat erat kaitannya dengan keterampilan berkomunikasi. Berkomunikasi seperti apakah yang perlu seorang coach miliki akan dibahas pada bagian selanjutnya dalam modul coaching ini. Selain keterampilan berkomunikasi, beberapa keterampilan dasar perlu dimiliki oleh seorang coach. 


    Ada empat keterampilan dasar yang seharusnya dimiliki oleh guru ketika berperan sebagai coachInternational Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu:
1.      keterampilan membangun dasar proses coaching
2.      keterampilan membangun hubungan baik
3.      keterampilan berkomunikasi
4.      keterampilan memfasilitasi pembelajaran

 e. Coaching Model GROW dikembangkan menjadi TIRTA
          TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will.
Tahapan GROW :
  1. Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini
  2. Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee
  3. Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.
  4. Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

Model TIRTA

            Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini menjadi sangat penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk mengembangkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah.

            TIRTA kepanjangan dari T: Tujuan, I: Identifikasi, R: Rencana Aksi, TA: Tanggung Jawab. Dari segi bahasa, Tirta berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid (coachee) kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Guru sebagai coach memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir, tanpa sumbatan. Tugas coach (guru) adalah menyingkirkan sumbatan-sumbatan yang mungkin menghambat potensi coachee (murid). Bagaimana cara coach menjaga agar dapat menyingkirkan sumbatan yang ada? Jawabannya adalah ketrampilan praktik coaching.


 
2. Refleksi Materi Modul 2

          Pembelajaran Berdiferensiasi adalah pembelajaran yang memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak. Walaupun model pengajaran ini berorientasi pada perbedaan individual anak, namun tidak berarti pengajaran harus berdasarkan prinsip satu orang guru dengan satu orang murid. Dalam kaitan dengan pembelajaran berdiferensiasi, maka para siswa memiliki kebebasan yang luas untuk memilih bahan pembelajaran yang disenangi sehingga guru harus kreatif dalam membuat desain pembelajaran.

Jika dikaitkan Pembelajaran Berdiferensiai dengan Pembelajaran Coaching, tentuya sangat berkolerasi, dimana komponen utama dalam coaching berdasarkan kompetensi adalah proses coaching itu sendiri, dimana para guru/coach dalam hal ini memberikan pembelajaran diferensiasi berupa diferensiasi konten, diferensiasi proses dan diferensiasi produk yang telah disesuaikan dengan pemetaan kebutuhan murid, baik kondisi belajar murid ataupun menurut gaya belajar murid (visual, audio dan kinestetik). Guru yang dalam hal ini sebagai coach dapat melakukan coaching untuk menuntun murid yang memiliki permasalahan ataupun yang tidak mengalami permasalahan untuk menemukan ide-ide ataupun potensi-potensi yang belum tergali oleh dirinya sendiri. Sumbatan-sumbatan yang dialami murid yang dalam hal pembelajaran coaching menjadi coachee menggali ide-ide, potensi-potensi yang diarahkan oleh coach mampu menemukan solusi dari dirinya sendiri. Ini artinya pembelajaran berdiferensiasi dapat dikorelasikan dengan praktik coaching. 

“Coaching adalah sebuah percakapan, dialog saat seorang coach dan seseorang berinteraksi dalam sebuah komunikasi yang dinamis untuk mencapai tujuan, meningkatkan kinerja dan ‘menuntun’  sesorang mencapai keberhasilannya”  (Zeus and Skiffington)

Bagaimana hubungan praktik coaching ini dengan pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE)?  

Pembelajaran sosial emosional atau yang biasa disebut dengan SEL (Social and Emotional Learning) adalah suatu proses, cara atau keterampilan yang mana dipergunakan untuk memanajemen (memahami atau mengolah) emosi dan berperilaku etis serta bertanggung jawab dan dapat terhindar dari perilaku negatif (Elias Etal,1997)

Berdasarkan definisi KSE tersebut, jika dikaitkan dengan pembelajaran coaching dan pembelajaran berdiferensiasi memiliki hubungan yang erat dan berkesinambungan. Penelitian menunjukkan bahwa strategi berbasis sekolah yang dirancang untuk mempromosikan SEL murid menghasilkan hasil yang paling sukses ketika Pembelajaran Sosial Emosional dimasukkan di dalam kurikulum sehari-hari dan dihubungkan dengan kegiatan sekolah lainnya (Greenberg.et.al.,2003). Disaat guru melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi yang disertai dengan adanya Bimbingan melalui pembelajaran coaching, murid dan guru dapat melakukan pembelajaran KSE ini, baik sebelum pembelajaran, di sela-sela pembelajaran berlangsung, setelah selesai melakukan pembelajaran ataupun disaat coach dalam hal ini peran guru mengatasi permasalahan yang dihadapi coachee (murid) untuk membuat pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan dan menggali ide-ide serta potensi yang dimiliki coachee, sehingga mampu mengatasi masalahnya sendiri dari dirinya sendiri, coach hanya melancarkan sumbatan-sumbatan yang dialami coachee.

Antara Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional dengan Praktik Coaching sangat berkolerasi tinggi untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan yakni MERDEKA BELAJAR.


-Sekian- 
Salam Sehat


Kamis, 29 Juli 2021

 Aksi Nyata Modul 1.4. Budaya Positif

PEMBUATAN KESEPAKATAN KELAS XII MIA 1 

SMA NEGERI 17 MEDAN T.A. 2021/2022

 

  1. Latar Belakang

 

Kesadaran akan penerapan disiplin murid saat ini masih berdasarkan motivasi ekstrinsik, dimana pembiasaan positif yang diterapkan bukan disiplin positif, namun masih menganut reward dan punishment. Komunikasi yang dibangun masih satu arah, peran atau kontrol guru belum sampai pada tahap control manager melainkan sebagai hakim bagi murid.

 

Dalam menciptakan budaya positif di sekolah dibutuhkan sinergitas dari semua pemangku kepentingan di sekolah dalam menerapkan pembiasaan positif. Dengan menerapkan pembiasan positif maka akan timbul disiplin positif. Disiplin positif inilah yang nantinya akan menjadi budaya positif.. Budaya positif lahir karena telah tumbuhnya kesadaran dan komitmen dari masing-masing individu. Kesadaran dan komitmen tersebut dimulai dari dalam diri. Hal itu merupakan ciri khas dari motivasi intrinsik, dimana karakter disiplin yang kuat terbentuk dalam diri setiap warga sekolah dan berkembang menjadi budaya positif sekolah.

 

Sekolah yang memiliki ciri khas adalah sekolah yang didalamnya terdapat sesuatu yang ajeg dan bisa dilestarikan dan menimbulkan kenyamanan dalam pembelajaran, salah satunya adalah budaya positif yang dimiliki sekolah. Apabila budaya positif dikembangkan oleh seluruh warga sekolah maka akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tinggi antar warga sekolah.  Budaya positif akan tercermin dalam pembelajaran didalam kelas. Situasi kelas menjadi nyaman serta adanya keperdulian satu sama lain. Sehingga akan menciptakan budaya ajar yang baik.

 

Salah satu contoh penerapan budaya positif yang bisa dikembangkan disekolah adalah pembuatan kesepakatan kelas bersama murid, yang bertujuan untuk menumbuhkan tanggung jawab dan kepedulian siswa dikelas. Kesepakatan yang dibuat hendaknya menampung aspirasi antar siswa, karena mereka yang tahu banyak tentang kelas dan pembelajaran didalamnya. Kolaborasi antar siswa yang menelurkan ide-ide untuk menyepakati peraturan kelas yang dijadikan sebagai landasan aturan dikelas. Konsekuensi yang ditimbulkan menjadi bagian kesepakatan yang harus diikuti. Apabila kesepakatan ini dijalankan maka budaya positif akan nampak nyata terlihat dalam diri siswa dan guru.

 

  1. Deskripsi Aksi Nyata

 

Proses Pelaksanaan Aksi Nyata

 

Strategi yang dapat dilakukan untuk menerapkan budaya positif di sekolah dengan memanfaatkan sumber yang dimiliki, diantaranya mengaktifkan kegiatan literasi sekolah, sehingga akan berpengaruh pada pola dan kebiasaan dalam belajar. Menerapkan dan membiasakan komunikasi dua arah pada seluruh warga sekolah. Berawal dari peran guru membudayakan disiplin positif dengan mengubah paradigma disiplin menjadi disiplin positif.

 

Linimasa tindakan yang akan dilakukan yaitu:

  1. Sosialisasi budaya positif kepada semua pemangku kepentingan di sekolah yaitu Kepala Sekolah

  2. Mengatur jadwal pertemuan untuk membuat kesepakatan kelas 

  3. Pelaksanaan pembuatan kesepakatan kelas

  4. Merefleksi kegiatan dalam rangka membudayakan kebiasaan positif di sekolah

 

Aksi nyata kali ini dalam rangka menumbuhkembangkan budaya positif yang sudah ada disekolah. Mengajak semua pemangku kepentingan untuk senantiasa melestarikan dan menjaga hal-hal baik dan positif agar terus mengakar dan menyeluruh ke semua warga sekolah. Terutama mengimbaskan di kalangan murid atau peserta didik dengan motivasi dan dukungan guru pengampu mata pelajaran. Serta bimbingan walli kelas dalam apresiasi budaya positif dalam dan antar anggota kelas.

 

Untuk menerapkan pembiasaan budaya positif diperlukan komunikasi dua arah antar pemangku kepentingan, karena konsekuensi bersama terhadap sebuah aturan dalam rangka penerapan disiplin positif tidak akan berhasil tanpa kesadaran penuh dari masing-masing individu. Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama di dalam kelas jika lingkupnya guru mata pelajaran dalam satu kelas. Jika kesepakatan dala satu sekolah, berlaku untuk semua pemangku kepentingan di sekolah.

 

Selama masa pandemi covid-19, Kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring sehingga untuk membuat kesepakatan kelas kali ini pun kami lakukan secara daring (online) dengan bantuan aplikasi video conference Google Meet. Adapun tahapan pembuatan kesepakatan kelas yang kami lakukan antara lain:

 

  1. Mengatur waktu pertemuan untuk membuat kesepakatan kelas di grup Whatsapp kelas XII MIA 1



  1. Mengirimkan link Google Meet di grup Whatsapp kelas agar murid dapat bergabung

             
  1. Menyapa murid dan memberikan motivasi untuk tetap semangat belajar di kelas XII


  1. Berdiskusi dengan murid tentang bagaimana kelas impian mereka


  1. Meminta murid mengutarakan pendapatnya (ide) masing-masing tentang harapan mereka untuk kelas XII MIA 1 nantinya dalam link Jamboard yang ada di Google Meet

  1. Masing-masing murid mengutarakan pendapatnya dalam Jamboard dan dapat dilihat oleh murid lainnya. Selanjutnya guru memberikan kesempatan bagi murid untuk saling memberikan tanggapan terhadap pendapat (ide) dari temannya.


  1. Bersama membuat kesepakatan untuk kelas XII MIA 1


  1. Membuat komitmen untuk melaksanakan kesepakatan kelas tersebut dan bersedia menerima konsekuensi jika tidak mematuhi kesepakatan yang tekat di sepakati bersama



Dokumentasi Poster Kesepakatan Kelas XII MIA 1

  1. Hasil Aksi Nyata

Pada tanggal 21 Juli 2021 pembelajaran tahun ajaran baru sudah mulai aktif kembali. Kami mulai menerapkan kesepakatan kelas yang telah dibuat sebelumnya. Beberapa perubahan yang terlihat diantaranya dari segi kedisiplinan murid dalam mengikuti pembelajaran dan sopan santun dalam berkomunikasi dengan guru. 

Kesepakatan kelas memberikan perubahan yang positif bagi murid di kelas tersebut. Timbul kesadaran dan motivasi dari dalam diri mereka untuk menjalankan kesepakatan kelas yang dibuat dan disepakati bersama. Dampak yang terlihat adalah timbulnya kesadaran akan disiplin positif yang terlihat dari terbentuknya karakter positif murid serta terwujudnya budaya positif di sekolah yang akan mendukung visi sekolah yang diimpikan.

  1. Refleksi Aksi Nyata

1. Merencanakan dan Melaksanakan Aksi Nyata

Perasaan saya ketika merencanakan dan melaksanakan aksi nyata berupa pembuatan kesepakatan kelas ini sangat bersemangat dan penuh keyakinan bahwa dengan menerapkan kesepakatan kelas ini akan dapat membantu menumbuhkan disiplin positif dalam diri guru dan murid. Ketika disiplin positif sudah berakar dalam diri, maka akan terbentuk karakter positif dan bermuara menjadi budaya positif di sekolah. 

Aksi nyata kali ini merupakan pencerminan dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang berhamba pada murid dan menuntun kodrat anak. Selain itu penerapan budaya positif melalui pembuatan kesepakatan kelas sangat mendukung untuk mewujudkan Visi saya sebagai Guru Penggerak. Visi saya adalah “Terwujudnya profil pelajar Pancasila yang berbudi pekerti luhur dan merdeka”. 

 

Sejujurnya di dalam hati kecil saya juga merasa sedikit khawatir akan beberapa hal seperti:

  • Murid-murid di kelas XII MIA 1 berasal dari latar belakang sosial ekonomi, suku, dan agama yang berbeda-beda. Apakah kesepakatan kelas dapat tercapai ditengah heterogenitas murid di kelas tersebut?

  • Apakah kesepakatan kelas ini dapat terlaksana secara efektif dalam pembelajaran daring?

 

Tetapi saya tetap meyakinkan diri saya sendiri bahwa ketika semua pihak yang terlibat memiliki kesadaran penuh akan pentingnya budaya positif dan memegang teguh komitmen bersama maka hal itu akan dapat diwujudkan. Heterogenitas yang ada di kelas tersebut memang menimbulkan karakter dan pembiasaan positif yang beragam namun kemudian blended membentuk kebiasaan positif sekolah dengan tetap menonjolkan hal-hal positif yang sudah ada.

Respon dari para murid juga sangat baik. Mereka merasa senang dan bersemangat melakukan perubahan positif di kelas. Bersemangat untuk melaksanakan hasil kesepakatan karena ide dan aspirasi mereka juga tercurah di dalamnya. Hal tersebut menimbulkan motivasi intrinsik di dalam diri murid untuk dapat menjadi lebih baik. 

Yang menjadi tantangan bagi saya adalah ketika ada murid yang kurang aktif dalam diskusi, enggan memberikan ide, dan ada juga yang tidak memberikan respon tanggapan meski terhadap respon antar teman. Barangkali yang tidak memberikan ide masih bingung, tapi ada yang hanya merespon tanggapan temannya saja. Tantangannya lagi adalah mengontrol kelas agar kondusif fokus dalam kegiatan positif di satu sisi mendengar hal-hal lain dari murid yang kesemuanya harus disaring Kembali.

2. Pembelajaran yang didapat dari pelaksanaan

Proses kegiatan aksi nyata ini belum seratus persen terlaksana sesuai dengan rancangan karena terbentur dengan libur kenaikan kelas. Rencana yang awalnya sekolah akan mulai dibuka untuk pembelajaran tatap muka, nyatanya masih belum bisa terealisasi karena adanya PPKM Darurat seiring meningkatnya kasus pandemi covid-19 di wilayah Sumatera Utara khususnya Kota Medan. Sehingga rencana tindakan aksi nyata tidak sesuai seratus persen dengan rancangan dan fakta yg dihadapi. Jadi proses sosialisasi dan pemberian feedback serta pembiasaan positif dilakukan dengan keterbatasan secara daring.

Aksi nyata penerapan budaya positif melalui pembuatan kesepakatan kelas dapat terlaksana dengan baik, hal ini ditandai dengan tumbuhnya kebiasaan-kebiasaan positif dalam proses pembelajaran di kelas, seperti sikap sopan santun ketika berkomunikasi dengan guru secara langsung maupun melalui chat Whatsapp

Keberhasilan dan Kegagalan Pelaksanaan Aksi Nyata

Keberhasilan: 

 

  1. Murid Senantiasa berusaha untuk mengikuti kesepatan kelas yang sudah dibuat

  2. Minat belajar semakin meningkat dan murid lebih antusias mengikuti pembelajaran.

  3. Sebagian besar murid dikelas mulai menerapkan disiplin positif sehingga pembelajaran bisa berjalan dengan baik.


Kegagalan:

 

  1. Tidak semua murid bisa mengikuti kesepakatan kelas dengan baik, ada beberapa diantaranya masih belum bisa konsisten menjalankan apa yang sudah disepakati.

  2. Guru belum bisa secara maksimal menerapkan hukuman yang harusnya diterima oleh murid yang melanggar kesepakatan.

 

Beberapa pelajaran yang diperoleh dan kaitannya dengan materi sebelumnya

  • Kaitan dengan Visi Guru Penggerak

 

Pelajaran yang diperoleh dari aksi nyata ini adalah bahawa aksi nyata secara langsung dapat membantu mewujudkan visi sekolah yang telah dibahas pada modul sebelumnya. Untuk mewujudkan visi tersebut, diperlukan kolaborasi dari seluruh warga sekolah untuk menerapkan disiplin positif agar dapat menumbuhkan budaya positif sekolah dan disertai dengan pembentukan karakter positif murid. Bagaimana menumbuhkan budaya positif di kelas, sehingga dapat menjadi budaya positif dan mencerminkan visi sekolah? Kelas adalah miniatur dari sekolah, dan sekolah adalah miniatur dari bangsa. Bangsa yang berbudi pekerti baik serta berdisiplin positif bermula dari bangku-bangku di sekolah. Sehingga bagaimana menumbuhkan budaya positif adalah bermula dari kegiatan belajar mengajar di kelas dan upaya guru berinteraksi dengan murid.

 

  • Kaitan dengan Nilai dan Peran Guru Penggerak

 

Begitu juga materi pada modul sebelumnya dimana nilai-nilai dan peran guru penggerak yaitu pembelajaran berpusat pada murid, dengan kolaborasi, refleksi, guru akan mudah berinovasi dan kemandirian belajar menjadi sebuah keniscayaan jika karakter guru juga kuat. Peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik kepada guru lain dan peserta didik dalam membangun budaya positif yaitu dengan menguatkan apa yang sudah menjadi budaya dan iklim baik di sekolah. Memunculkan kekuatan, dan menyamarkan yang hal-hal yang bersifat stagnan. Sehingga yang diharapkan semua bergerak untuk menuju perubahan yang signifikan. Dengan berkolaborasi membentuk karakter baik dan menerapkan disiplin positif yang akan menjadi budaya sekolah. Dengan memulainya dari kelas, mulai dengan murid yang diajar, mulai dengan mata pelajaran yang diampu.

 

  • Kaitan dengan Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Profil Pelajar Pancasila

 

Sesuai dengan filosofi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa guru seyogyanya menuntun segala kodrat yang ada pada anak dan berhamba pada anak, atau dikenal dengan pembelajaran sistem among. Guru sebagai fasilitator di depan menjadi contoh, ditengah sebagai penyemangat dan di belakang menjadi pendorong demi majunya sebuah pendidikan yang dapat mengakomodir kebutuhan murid yang beragam. Penerapan budaya positif seperti religius, disiplin dan toleransi antar sesama dikaitkan dengan profil pelajar Pancasila yaitu: Beriman dan bertakwa pada Tuhan YME, kemandirian, bernalar kritis, kreatif, bersifat kebhinekaan dan bergotong royong. Dimana nilai-nilai itu akan menjadi dasar pembiasaan positif. Ketika pembiasaan yang dimaksud menjadi karakter maka akan mudah mencetak generasi pelajar Pancasila yang berempati dan kritis yang memiliki daya saing global dengan kreatifitas tanpa batas namun tetap mengusung kebhinekaan dan gotong royong sesama.

 

 

  1. Rencana perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang

 

 

Rencana perbaikan di masa mendatang antara lain:

  • Merefleksikan bersama apa yang membuat kegagalan penerapan kesepakatan kelas bagi beberapa murid, lalu mencari solusi untuk mengatasi masalah – masalah yang ada.

  • Menjalin kerja sama dengan orang tua murid untuk meningkatkan disiplin positif sehingga kesepakatan kelas yang telah disepakati bersama bisa terlaksana secara konsisten dan menyeluruh.

  • Melibatkan guru BK dalam membuat kesepakatan kelas

  • Berkolaborasi dengan Kepala Sekolah dan PKS agar pembuatan kesepakatan kelas menjadi salah satu materi tambahan yang disampaikan di masa MPLS untuk semua kelas

  • Meningkatkan kolaborasi dengan rekan sejawat

  • Mensosialisasikan tentang penerapan budaya positif di sekolah dengan penjelasan secara personal maupun melalui poster yang akan ditempelkan di mading sekolah